Di lapangan, terkadang saya bertemu dengan orang yang menganggap asuransi itu haram. Walaupun produk yang ditawarkan adalah asuransi syariah, yang notabene telah mendapat fatwa halal dari MUI, tetap dibilangnya haram. Bahkan di antara nasabah saya, ada yang menutup polisnya setelah mendengar pendapat bahwa asuransi haram. Kenapa haram? Karena kata ustadz yang mereka ikuti, asuransi itu mengandung riba, gharar (ketidakjelasan), dan maysir (judi).
Pengalaman ini terjadi pula pada sejumlah teman saya sesama agen asuransi. Jadi, ini adalah kasus yang umum. Walaupun dari segi jumlah tidak banyak, tapi tampaknya ada kecenderungan meningkat.
Okelah, ini satu tantangan dalam pekerjaan yang kami jalankan. Tidak seru juga kalau setiap orang lantas manut saat ditawari asuransi. Dan pekerjaan apa pun pasti ada tantangannya. Jadi biasa saja menyikapinya.
Tentu adalah hak setiap orang untuk tidak berasuransi dengan alasan apa pun. Tulisan ini sekadar mengajak para pembaca untuk berdiskusi mengenai pilihan-pilihan yang dapat diambil. Bahwa ada orang yang tadinya punya asuransi lalu menutup polisnya setelah mendengar pendapat asuransi haram, berarti ada diskusi dalam pikirannya sehingga dia berubah pikiran. Artinya, dia terbuka terhadap masukan-masukan, dan itu sesuatu yang baik. Bukan tidak mungkin pendapatnya berubah lagi, betul?
(Pendapat ttg asuransi haram antara lain bisa dicek di SINI).
Diskusi ini saya mulai dengan pertanyaan: “Jika asuransi itu haram, lalu gantinya apa? Adakah cara lain yang dapat menggantikan fungsi asuransi dengan sama baiknya?”
Apa fungsi asuransi? Yaitu mengurangi kerugian keuangan yang timbul akibat terjadinya suatu musibah. Mengurangi kerugian, bukan mencari keuntungan. Asuransi tidak mencegah terjadinya musibah, dan memang tidak bisa juga. Kalau musibah itu harus terjadi ya terjadi saja. Itu bagian dari takdir yang harus diterima, rela ataupun terpaksa. Tapi yang ditangani oleh asuransi adalah masalah keuangan yang timbul akibat musibah tsb, dan ini bukan takdir.
Musibah seperti sakit, cacat, dan meninggal dunia tidak dapat dicegah, ada ataupun tanpa asuransi. Demikian pula risiko yang terjadi pada harta benda seperti kebakaran, kerusakan, dan kehilangan. Tapi asuransi dapat mengurangi masalah keuangan yang ditimbulkannya.
Pada tataran mikro (individu), musibah-musibah atau risiko tersebut memang masih berupa kemungkinan, bisa terjadi atau tidak dalam periode tertentu.
Tapi pada tataran makro (masyarakat), risiko-risiko tersebut merupakan kepastian. Lihatlah ke rumah sakit, di sana selalu ada orang yang sakit. Jika anda masuk jalan tol, anda akan melihat papan informasi di pinggir jalan yang memberitakan jumlah kejadian kecelakaan dan jumlah orang yang meninggal pada bulan itu. Jika anda tinggal dekat masjid, sesekali pasti akan terdengar pengumuman dari pengeras suara yang diawali ucapan “inna lillahi wa inna ilaihi rajiun”, alias informasi ada orang yang meninggal dunia, dan itu bisa beberapa kali setiap bulannya. Mampir jugalah ke bengkel mobil, pasti selalu ada mobil yang sedang diperbaiki setiap harinya.
Dan di negeri kita ini, bencana alam juga kerap terjadi setiap tahun di berbagai tempat, entah itu banjir, longsor, gempa bumi, bahkan tsunami.
Semua kejadian itu, jika dilihat secara makro, jelas membutuhkan sumber pembiayaan tertentu untuk mengatasi dampak ekonomisnya.
Dan jika dilihat secara mikro, tetap saja kemungkinannya ada.
Apa solusi keuangan bagi orang yang mengalami sakit dan butuh biaya besar untuk pengobatan? Apa solusi keuangan bagi orang yang mengalami cacat tetap sehingga harus kehilangan pekerjaan dan penghasilan? Apa solusi keuangan bagi keluarga yang ditinggalkan pencari nafkah saat anak-anak masih kecil? Apa solusi keuangan bagi orang yang rumahnya kebakaran atau mobilnya hilang?
Asuransi dapat menjadi solusi dari masalah-masalah tersebut, dengan syarat tertentu. Tapi jika asuransi diharamkan, apa alternatifnya?
Mari kita uji beberapa ide berikut ini.
- Pakai uang sendiri atau tabungan.
Jika butuhnya kecil, mungkin masih bisa. Tapi kalau butuhnya ratusan juta hingga miliaran, apakah kita semua punya? Okelah kita akan menabung. Berapa yang bisa ditabung? Mampukah disiplin? Kalau butuhnya saat ini juga, apakah kita siap? Tabungan itu butuh waktu dan kedisiplinan untuk menjadi besar. Yang perlu disadari adalah bahwa musibah itu tidak bisa diketahui kapan datangnya dan berapa biayanya.
- Menjual harta.
Menjual harta bisa jadi alternatif, dengan catatan ada harta yang bisa dijual, entah perhiasan, kendaraan, atau rumah. Pertanyaannya, apakah rela? Dan apakah tidak menimbulkan masalah baru? Misalnya kalau rumah dijual, lalu mau tinggal di mana?
- Mencari pinjaman.
Meminjam juga bisa jadi alternatif saat terkena musibah. Tapi apakah cari pinjaman itu mudah? Dalam kondisi sehat dan untuk keperluan produktif saja pinjam uang itu harus pakai agunan, bagaimana jika dalam kondisi sakit dan untuk keperluan konsumtif? Belum lagi yang namanya pinjaman itu harus dikembalikan berikut bunganya. Sangat mungkin dalam kondisi seperti ini akhirnya seseorang terpaksa terjebak riba, sesuatu yang awalnya ingin dihindari ketika mengharamkan asuransi.
- Mengharap sumbangan.
Pertanyaannya: Seberapa efektif? Seberapa besar dana yang bisa dikumpulkan dari sumbangan yang bersifat sukarela? Lalu lihat diri kita, apakah kita telah menanam banyak kebaikan kepada masyarakat sehingga mereka akan rela dengan serta-merta memberi bantuan saat mengetahui kita mendapat musibah?
Ada orang yang meyakini, seandainya dana-dana filantropis seperti zakat, infak, sedekah, perpuluhan, dan berbagai bentuk donasi lain bisa dikumpulkan secara maksimal, manusia tidak memerlukan lagi asuransi. Tanpa mengecilkan peran zakat, infak, sedekah, menurut saya hitung-hitungannya tidak masuk. Sebagai gambaran: dana asuransi itu bisa 5-15% dari penghasilan seseorang, dan dana tersebut dikumpulkan khusus untuk menanggulangi musibah tertentu, itu pun untuk para peserta yang membayar iurannya saja. Sedangkan dana filantropis semacam zakat hanya diwajibkan 2,5%, anggaplah berikut dana-dana lainnya bisa terkumpul 5% dari penghasilan atau kekayaan bersih orang-orang yang mampu, tapi dana tersebut digunakan untuk beraneka keperluan masyarakat, mulai dari memberi makan fakir miskin, membiayai orang sakit, beasiswa bagi kalangan tak mampu, membantu orang yang berutang, sampai pembukaan lapangan kerja. Dan dana-dana tersebut bukan hanya dinikmati mereka yang membayar, tapi keseluruhan masyarakat.
- Mengandalkan pemerintah.
Ini adalah alternatif yang paling masuk akal, dan sebagian sudah dilaksanakan oleh pemerintah. Untuk beberapa kebutuhan proteksi dasar, pemerintah telah menyediakan BPJS Kesehatan dan pemerintah daerah pun biasanya punya anggaran untuk membantu warga yang sakit terutama dari kalangan miskin. Selain itu, negara juga mencadangkan dana untuk memulihkan kerusakan infrastruktur akibat bencana alam. Tapi di luar itu, apakah kita yakin pemerintah mampu membiayai semua orang sakit di negeri ini? BPJS Kesehatan saja tiap tahun selalu nombok hingga triliunan rupiah. Apakah mungkin pemerintah memberikan penghasilan rutin kepada semua orang yang lumpuh dan sakit berat? Mampukah pemerintah membiayai hidup dan pendidikan semua anak-anak yang kehilangan ayahnya?
- Berdoa dan tawakal.
Ada yang meyakini, dan itu tertulis di kitab suci, bahwa dengan tawakal maka Tuhan akan mencukupkan segala kebutuhan kita. Tapi perlu diingat bahwa tawakal yang benar itu, kata Nabi, adalah “ikat dulu untamu”, alias ikhtiar dulu. Lagi pula level keyakinan masyarakat beragam, apakah mungkin sikap ini diterapkan kepada masyarakat secara keseluruhan? Apa pendapat anda jika ada pemimpin negara yang berkata: “Mulai sekarang, rakyat tidak perlu lagi dibebani iuran BPJS. Sebagai gantinya, mari kita semua berdoa dan tawakal kepada Tuhan, maka Tuhan akan mencukupkan segala kebutuhan kita.” Apakah seperti itu pemimpin yang kita inginkan? Jelas itu pemimpin yang OKOC (ogah kerja ogah cape).
- Banyak bersedekah.
Ada keyakinan bahwa dengan banyak bersedekah, kita akan terhindar dari bencana. Jadi, kepada orang yang menawarkan asuransi, mereka akan berkata: “Berapa preminya? Saya akan bersedekah setiap bulan sebesar premi tsb.” Tentunya ini sesuatu yang baik, asalkan benar-benar dilaksanakan. Apakah sedekah akan menjamin kita terhindar dari bencana? Boleh saja berkeyakinan seperti itu. Tapi tetap perlu rendah hati untuk menyadari bahwa orang-orang yang sangat beriman sekalipun tetap mendapat ujian dari Tuhan. Selain itu, yang namanya keyakinan individual tidak bisa diterapkan begitu saja pada masyarakat yang level keyakinannya beragam. Sementara itu, asuransi itu sendiri hakikatnya adalah sedekah, atau tepatnya saling sedekah, di antara sesama peserta. Jika ada peserta yang terkena musibah, dia mendapat bantuan dengan dana yang bersumber dari sedekah (alias premi) para peserta lainnya. Asuransi adalah sedekah yang diformalkan dan diikat dengan perjanjian.
Dengan segala kekurangan dari alternatif-alternatif yang ada, yang memang tidak secara khusus ditujukan untuk menanggulangi dampak musibah, tak diragukan lagi kita masih membutuhkan asuransi. Asuransi adalah sebuah mekanisme pengumpulan dana dengan tujuan spesifik untuk membantu orang-orang yang terkena musibah. Orang yang terkena musibah tentu mengalami bermacam beban, baik dari segi fisik, psikologis, hingga keuangan. Asuransi membantu dari segi keuangan. Jika keuangan terbantu, mudah-mudahan beban psikologis dan fisik pun jadi lebih ringan.
Secara makro, adanya asuransi juga meringankan beban yang harus ditanggung pemerintah dan lembaga-lembaga pengumpul donasi. Asuransi punya kelebihan yaitu mampu menjangkau orang-orang kaya, kalangan yang biasanya bukan prioritas untuk memperoleh bantuan dari pemerintah dan lembaga amal. Padahal orang-orang kaya juga butuh jaring pengaman sosial jika mengalami musibah. Tapi kebutuhan mereka memang akan terlalu besar untuk dipenuhi oleh pemerintah dan seperti kurang pada tempatnya jika mengharapkan dari dana-dana sumbangan sukarela.
Mengharamkan sesuatu yang merupakan kebutuhan masyarakat tentu harus ada alternatifnya. Bahkan sesuatu yang haram pun, jika darurat dan tidak ada penggantinya, bisa menjadi halal.
Jadi, berhati-hatilah dalam menghukumi asuransi. Jangan-jangan asuransi adalah anugerah Tuhan untuk membantu umat manusia. Jangan-jangan asuransi bukan hanya tidak haram, tapi wajib adanya. Jangan-jangan asuransi bukan hanya wajib, tapi mulia adanya.
Lalu bagaimana dengan pendapat yang menyebutkan bahwa asuransi haram karena mengandung riba, gharar, dan maysir?
Maka sekarang sudah ada alternatif yaitu asuransi syariah, yang mekanismenya merupakan perwujudan tolong-menolong di antara sesama peserta, tidak lagi mengandung unsur riba, gharar, dan maysir, serta telah mendapat fatwa halal dari MUI.
Tapi jika asuransi syariah pun masih dianggap haram, maka tidak ada lagi yang bisa dikatakan. []
Topik ini pernah dibahas di kanal youtube Asep Sopyan: